Minggu, 28 Juni 2009

budaya aceh

Peta Aceh

I. Identifikasi Demografi

Nanggroe Aceh Darussalam, provinsi paling barat Indonesia, diapit oleh Samudera Hindia dan Selat Malaka, merupakan batas akhir Indonesia. Letaknya amat strategis sebagai pintu masuk ke Nusantara dan sebagian negara Asia lainnya. Meliputi daratan seluas 55.390 m2 termasuk ratusan pulau-pulau lepas pantai sepanjang pantai barat. Di tengah-tengahnya terdapat pengunungan Bukit Barisan yang dikelilingi oleh hutan hujan yang padat dan puncak Geureudong (2.595 m), Peuet Sago (2.780 in), Bumi Telong (2.566 m), Ucop Molu (3.187 m), Abong-abong (3.015 m), Leuser (3.466 m), Seulawah Agam (1.782 m) dan Seulawah Inong (866 m).

Aceh memiliki wilayah seluas 57.365,57 km2, yang terdiri atas kawasan hutan lindung 26.440,81 km2, kawasan hutan budidaya 30.924,76 km2 dan ekosistem Gunung Leuser seluas 17.900 km2, dengan puncak tertinggi pada 4.446 m diatas permukaan laut.

- Adapun batas batas nya yaitu:

- Sebelah utara dengan Laut Andaman

- Sebelah timur dengan Selat Melaka

- Sebelah selatan dengan Provinsi Sumatera Utara

- Sebelah barat dengan Samudra Hindia.

- Daerah Melingkupi: 119 Pulau, 35 Gunung, 73 Sungai

- Nanggroe (Banyaknya Dati II): 21 Kabupaten

- Banyaknya Kecamatan: 228

- Mukim: 642

- Kelurahan: 111

- Gampong (Desa): 5947

Ibukota dan bandar terbesar di Aceh ialah Banda Aceh. Bandar besar lain ialah seperti Sabang, Lhokseumawe, dan Langsa. Aceh merupakan kawasan yang paling parah dilanda gempa bumi 26 Desember 2004.

Keindahan alam daerah Aceh yang paling penting adalah hutan tropis basah, lereng-lereng dan gunung merapi. Gunung merapi yang semi aktif dan ditumbuhi dengan hutan lebat banyak terdapat sumber air panas dan danau, serta hutan itu sendiri merupakan habitat yang baik bagi sejumlah binatang dan tumbuhan langka yang masih bersisa. Aceh mempunyai kekayaan sumber bumi seperti minyak dan gas asli.

II. Sejarah

A. Asal-usul Nama Aceh

Aceh merupakan sebuah nama dengan berbagai legenda. Berikut beberapa mitos tentang nama Aceh yang dirangkum dari berbagai catatan lama.

Salah satunya adalah cerita tentang perjalanan Budha ke Indo China dan kepulauan Melayu. Ketika sang budiman itu sampai di perairan Aceh, ia melihat cahaya aneka warna di atas sebuah gunung. Ia pun berseru “Acchera Vaata Bho” (baca: Acaram Bata Bho, alangkah indahnya). Dari kata itulah lahir nama Aceh. Yang dimaksud dengan gunung cahaya tadi adalah ujung batu putih dekat Pasai.

Mitos lainnya menceritakan bahwa pada zaman dahulu ada seorang anak raja yang sedang berlayar, dengan suatu sebab kapalnya karam. Ia terdampar ke tepi pantai, di bawah sebatang pohon yang oleh penduduk setempat dinamai pohon aceh. Nama pohon itulah yang kemudian ditabalkan menjadi nama Aceh.

Dalam Kisah lainnya diceritakan tentang karakter bangsa Aceh yang tidak mudah pecah. Hal ini diterjemahkan dari rangkaian kata a yang artinya tidak, dan ceh yang artinya pecah. Jadi, kata aceh bermakna tidak pecah.

B. Pemberontakan GAM

Gerakan Aceh Merdeka, atau GAM adalah sebuah organisasi yang memiliki tujuan agar dNanggroe Aceh Darussalam le aerah Aceh atau yang sekarang secara resmi disebut pas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik antara pemerintah Indonesia dan GAM yang diakibatkan perbedaan keinginan ini telah berlangsung sejak tahun 1976 dan menyebabkan jatuhnya hampir sekitar 15.000 jiwa. Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF).GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro yang sekarang bermukim di Swedia dan berkewarganegaraan Swedia.

Pada 27 Februari 2005, pihak GAM dan pemerintah memulai tahap perundingan di Vantaa, Finlandia dengan difasilitatori oleh mantan presiden Finlandia, Marti Ahtisaari. Pada 17 Juli 2005, setelah perundingan selama 25 hari, pemerintah Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM. Penandatanganan nota kesepakatan damai tersebut dilkukan pada tanggal 15 Agustus 2005. Proses perdamaian selanjutnya dipantau oleh sebuah tim yang bernama Aceh Monitoring Mission (AMM) yang beranggotakan lima negara ASEAN dan beberapa negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Di antara poin pentingnya adalah bahwa pemerintah Indonesia akan turut memfasilitasi pembentukan partai politik lokal di Aceh dan pemberian amnesti bagi anggota GAM.

Dengan ditandatanganinya kesepakatan damai, maka Seluruh senjata GAM yang mencapai 840 pucuk diserahkan kepada AMM pada 19 Desember 2005. Kemudian pada 27 Desember, GAM melalui juru bicara militernya, Sofyan Daud, menyatakan bahwa sayap militer mereka telah dibubarkan secara formal.

III. Budaya

A. Suku dan penyebarannya

Sebagian besar penduduknya merupakan ras Melayu, tetapi terdapat juga campuran ras Arab, Cina, Eropa dan India. Selain itu Aceh dikelompokkan menjadi beberapa suku seperti yaitu Suku Aceh, Suku Gayo, Suku Alas, Suku Aneuk Jamee, Suku Melayu Tamiang, Suku Kluet, Suku Devayan, Suku Sigulai, Suku Haloban suku pakpak dan boang dan Suku Julu.

Suku Aceh adalah suku yang mendiami ujung utara pulau Sumatra. Mereka beragama Islam. Bahasa yang dipertuturkan oleh mereka adalah bahasa Aceh yang masih berkerabat dengan bahasa Mon Khmer (wilayah Champa).

Suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Suku Gayo mendiami tiga kabupaten utama yaitu Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Gayo Lues. Suku Gayo juga mendiami setiap Kecamatan di desa Kabupaten Aceh Tenggara. Dan beberapa desa di Kabupaten Aceh Tamiang ,Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Selatan dan di Kecamatan Serba Jadi di Kabupaten Aceh Timur. Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat dalam agamanya. Suku Gayo menggunakan bahasa yang disebut bahasa Gayo.

Suku Alas merupakan salah satu suku yang bermukim di Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh (yang juga lazim disebut Tanah Alas). Kata "alas" dalam bahasa Alas berarti "tikar". Hal ini ada kaitannya dengan keadaan daerah itu yang membentang datar seperti tikar di sela-sela Bukit Barisan. Daerah Tanah Alas dilalui banyak sungai, salah satu diantaranya adalah Lawe Alas( Sungai Alas). Bahasa Alas mirip dengan bahasa Batak (Karo, Tapanuli, dan Pakpak). Sebagian besar suku Alas tinggal di pedesaan dan hidup dari pertanian dan peternakan. Tanah Alas merupakan lumbung padi untuk daerah Aceh. Tapi selain itu mereka juga berkebun karet, kopi,dan kemiri, serta mencari berbagai hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar dan kemenyan. Sedangkan binatang yang mereka ternakkan adalah kuda, kambing, kerbau, dan sapi. Kampung atau desa orang Alas disebut kute. Suatu kute biasanya didiami oleh satu atau beberapa klan, yang disebut merge. Anggota satu merge berasal dari satu nenek moyang yang sama. Pola hidup kekeluargaan mereka adalah kebersamaan dan persatuan. Mereka menarik garis keturunan patrilineal, artinya garis keturunan laki-laki. Mereka juga menganut adat eksogami merge, artinya jodoh harus dicari di merge lain. Suku Alas 100% adalah penganut agama Islam. Namun masih ada juga yang mempercayai praktek perdukunan misalnya dalam kegiatan pertanian. Mereka melakukan upacara-upacara dengan latar belakang kepercayaan tertentu agar pertanian mereka mendatangkan hasil baik atau terhindar dari hama.

Suku Melayu atau lebih sering disebut Melayu Tamiang adalah penduduk utama kabupaten Aceh Tamiang Mereka mempunyai kesamaan dialek dan bahasa dengan masyarakat Melayu yang tinggal di kabupaten Langkat, Sumatera Utara serta berbeda dengan masyarakat Aceh. Meski demikian mereka telah sekian abad menjadi bagian dari Aceh. Dari segi kebudayaan, mereka juga sama dengan masyarakat Melayu pesisir timur Sumatera lainnya.

Suku Kluet mendiami beberapa kecamatan di Kabupaten Aceh Selatan, yaitu kecamatan Kluet Utara, Kluet Selatan, Kluet Tengah, dan kecamatan Kluet Timur. Suku Kluet mayoritas beragama Islam. Daerah Kluet ini dipisahkan oleh sungai Lawé Kluet yang berhulu di Gunung Leuser dan bermuara di Lautan Hindia. Wilayah kediaman orang Kluet ini terletak di pedalaman berjarak 20 km dari jalan raya, 50 km dari kota Tapak Tuan atau 500 km dari Banda Aceh. Bahasa Kluet terbagi atas 3 dialek yaitu Dialek Paya Dapur, Manggamat dan Krueng Kluet. Mata pencahariannya umumnya adalah bertani, berladang dan berkebun.

Suku Devayan merupakan suatu suku bangsa yang mendiami Pulau Simeulue. Suku ini mendiami kecamatan Teupah Barat, Simeulue Timur, Simeulue Tengah, Teupah Selatan dan Teluk Dalam.

Suku Julu merupakan suatu suku yang terdapat di kabupaten Aceh Singkil daratan. Suku ini lebih lazim dikenal sebagai suku Singkil. Suku Julu termasuk kelompok suku Pakpak. Suku Pakpak terdiri dari dua kelompok yaitu Pakpak Dairi dan Pakpak Boang. Suku Pakpak Dairi terdapat di kabupaten Dairi dan Pakpak Barat di provinsi Sumatera Utara. Sedangkan suku Pakpak Boang itulah suku Julu.

Suku Sigulai merupakan suatu suku bangsa yang mendiami Pulau Simeulue bagian utara. Suku ini mayoritas terdapat di kecamatan Simeulue Barat dan kecamatan Alafan. Suku Sigulai juga mendiami sebagian desa di kecamatan Salang, kecamatan Teluk Dalam dan kecamatan Simeulue Tengah.

Suku Haloban merupakan suatu suku yang terdapat di kabupaten Aceh Singkil, tepatnya di kecamatan Pulau Banyak. Kecamatan Pulau Banyak merupakan suatu kecamatan yang terdiri dari 7 desa dengan ibukota kecamatan terletak di desa Pulau Balai. Bahasa Haloban masih bertalian erat dengan bahasa Devayan di pulau Simeulue.

Suku Aneuk Jamee adalah sebuah suku yang tersebar di sepanjang pesisir barat Nanggroe Aceh Darussalam. Dari segi bahasa, mereka diperkirakan masih merupakan dialek dari bahasa Minangkabau dan menurut cerita, mereka memang berasal dari Ranah Minang. Orang Aceh menyebut mereka sebagai Aneuk Jamee yang berarti tamu atau pendatang. Umumnya mereka berkonsentrasi di Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Nagan Raya dan sebagian kecil di sekitar Meulaboh,Aceh Barat. Namun sebagian besar diantaranya berdiam di sepanjang pesisir selatan Aceh, meliputi Aceh Selatan hingga ke Aceh Barat Daya.

B. Kesenian

1. Tarian aceh

a. Saman

H:\ATJEH\aceh\Tari_Saman_files\Tari_Saman.jpgTarian saman diciptakan dan dikembangkan oleh seorang tokoh Agama Islam bernama Syeh Saman. Syair saman dipergunakan bahasa Arab dan bahasa Aceh. Tarian ini tidak mempunyai iringan permainan, karena dengan gerakan-gerakan tangan dan syair yang dilagukan, telah membuat suasana menjadi gembira. Lagu-lagu (gerak-gerak tari) pada dasarnya adalah sama, yakni dengan tepukan tangan, tepukan dada dan tepukan di atas lutut, mengangkat tangan ke atas secara bergantian.

Tari Saman biasanya ditampilkan menggunakan iringan alat musik, berupa gendang dan menggunakan suara dari para penari dan tepuk tangan mereka yang biasanya dikombinasikan dengan memukul dada dan pangkal paha mereka sebagai sinkronisasi dan menghempaskan badan ke berbagai arah.

Tarian ini dipandu oleh seorang pemimpin yang lazimnya disebut Syech. Karena keseragaman formasi dan ketepatan waktu adalah suatu keharusan dalam menampilkan tarian ini, maka para penari dituntut untuk memiliki konsentrasi yang tinggi dan latihan yang serius agar dapat tampil dengan sempurna. Tarian ini dilakukan secara berkelompok, sambil bernyanyi dengan posisi duduk berlutut dan berbanjar/bersaf tanpa menggunakan alat musik pengiring.

Karena kedinamisan geraknya, tarian ini banyak dibawak/ditarikan oleh kaum pria, tetapi perkembangan sekarang tarian ini sudah banyak ditarikan oleh penari wanita maupun campuran antara penari pria dan penari wanita. Tarian ini ditarikan kurang lebih 10 orang, dengan rincian 8 penari dan 2 orang sebagai pemberi aba-aba sambil bernyanyi.

b. Tari Likok Pulo Aceh

Tarian ini lahir sekitar tahun 1849, diciptakan oleh seorang Ulama tua berasal dari Arab, yang hanyut di laut dan terdampar di Pulo Acej atau sering juga disebut Pulau (beras). Diadakan sesudah menanam padi atau sesudah, biasanya pertunjukan dilangsungkan pada malam hari bahkan jika tarian dipertandingkan berjalan semalam suntuk sampai pagi. Tarian dimainkan dengan posisi duduk bersimpuh, berbanjar bahu membahu.

Seorang pemaian utama yang disebut syeh berada di tengah-tengah pemain. Dua orang penabuh rapai berada dibelakang atau sisi kiri/kanan pemain. Sedangkan gerak tari hanya memfungsikan anggota tubuh bagian atas, badan, tangan dan kepala. Gerakan tari pada prinsipnya ialah gerakan oleh tubuh, keterampilan, keseragaman/kesetaraan dengan memfungsikan tangan sama-sama ke depan, kesamping kiri atau kanan, ke atas dan melingkar dari depan ke belakang, dengan tempo mula lambat hingga cepat.

c. Laweut

Laweut berasal dari kata Selawat, sanjungan yang ditujukan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Sebelum sebutan laweut dipakai, pertama sekali disebut Akoon (Seudati Inong). Laweut ditetapkan namanya pada Pekan Kebudayaan Aceh II (PKA II).

Tarian ini berasal dari Pidie dan telah berkembang di seluruh Aceh. Gerak tari ini, yaitu penari dari arah kiri atas dan kanan atas dengan jalan gerakan barisan memasuki pi atas dan langsung membuat komposisi berbanjar satu, menghadap penonton, memberi salam hormat dengan mengangkat kedua belah tangan sebatas dada, kemudian mulai melakukan gerakan-gerakan tarian.

d. Tari Pho

Perkataan pho berasal dari kata peuba-e, peubae artinya meratoh atau meratap. Pho adalah panggilan/sebutan penghormatan dari rakyat.hamba kepada Yang Maha Kuasa yaitu Po Teu Allah. Bila raja yang sudah almarhum disebut Po Teumeureuhom.

Tarian ini dibawakan oleh para wanita, dahulu biasanya dilakukan pada kematian orang besar dan raja-raja, yang didasarkan atas permohonan kepada Yang Maha Kuasa, mengeluarkan isi hati yang sedih karena ditimpa kemalangan atau meratap melahirkan kesedihan-kesedihan yang diiringi ratap tangis. Sejak berkembangnya agama Islam, tarian ini tidak lagi ditonjolkan pada waktu kematian, dan telah menjadi kesenian rakyat yang sering ditampilkan pada upacara-upacara adat.

e. Seudati

Sebelum adanya seudati, sudah ada kesenian yang seperti itu dinamakan retoih, atau saman, kemudian baru ditetapkan nama syahadati dan disingkat menjadi seudati. Pemain seudati terdiri dari 8 orang pemain dengan 2 orang syahi berperan sebagai vokalis, salah seorang diangkat sebagai syekh, yaitu pimpinan group seudati. Seudati tidak diiringi oleh instrument musik apapun. Irama dan tempo tarian, ditentukan oleh irama dan tempo lagu yang dibawakan pada beberapa adegan oleh petikan jari dan tepukan tangan ke dada serta hentakan kaki ke tanah. Tepukan dada memberikan suara seolah-olah ada sesuatu bahan logam di bagian dada atau perut yang dilengketkan sehingga bila dipukul mengeluarkan suara getar dan gema.

Tarian ini juga termasuk kategori Tribal War Dance atau Tari Perang, yang mana syairnya selalu membangkitkan semangat pemuda Aceh untuk bangkit dan melawan penjajahan. Oleh sebab itu tarian ini sempat dilarang pada zaman penjajahan Belanda, tetapi sekarang tarian ini diperbolehkan kembali dan menjadi Kesenian Nasional Indonesia.

2. Lagu daerah

Lagu daerah yang berasal dari aceh adalah Bungong Jeumpa dan Tawar Sedenger.

3. Bahasa

Orang Aceh mempunyai bahasa sendiri yakni bahasa Aceh, yang termasuk rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Aceh terdiri dari beberapa dialek, di antaranya dialek Peusangan, Banda, Bueng, Daya, Pase, Pidie, Tunong, Seunagan, Matang, dan Meulaboh, tetapi yang terpenting ada;ah dialek Banda. Dialaek ini dipakai di Banda Aceh. Dalam tata bahasanya, Bahasa Aceh tidak mengenal akhiran untuk membentuk kata yang baru, sedangkan dalam sistem fonetiknya, tanda eu kebanyakan dipakai tanda pepet (bunyi e).

Dalam bahasa Aceh, banyak kata yang bersuku satu. Hal ini terjadi karena hilangnya satu vocal pada kata-kata yang bersuku dua, seperti turun menjadi tron, karena hilangnya suku pertama, seperti daun menjadi beuec. Di samping itu banyak pula kata-kata yang sama dengan bahasa-bahasa Indonesia bagian timur.

Masyarakat Aceh yang berdiam di kota umumnya menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar, baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan sosial. Namun demikian, masyarakat Aceh yang berada di kota tersebut mengerti dengan pengucapan bahasa Aceh. Selain itu, ada pula masyarakat yang memadukan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Aceh dalam berkomunikasi. Pada masyarakat Aceh di pedesaan, bahasa Aceh lebih dominan dipergunakan dalam kehidupan sosial mereka. Dalam sistem bahasa tulisan tidak ditemui sistem huruf khas bahasa Aceh asli.

Tradisi bahasa tulisan ditulis dalam huruf Arab-Melayu yang disebut bahasa Jawi atau Jawoe, Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab ejaan Melayu. Pada masa Kerajaan Aceh banyak kitab ilmu pengetahuan agama, pendidikan, dan kesusasteraan ditulis dalam bahasa Jawi. Pada makam-makam raja Aceh terdapat juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal setelah datangnya Islam di Aceh. Banyak orang-orang tua Aceh yang masih bisa membaca huruf Jawi.

4. Sistem Teknologi

a. Rumah Adat

Rumah tradisonal suku Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah-rumah ini didirikan di atas tanah setinggi 2,5 sampai 3 meter. Bentuk rumah Aceh biasanya bujur sangkar dan didirikan memanjang dari kiri ke barat dengan pintu tangganya selalu menghadap ke utara atau ke selatan. Adat rumah tersebut timbul setelah datangnya pengaruh islam. Atap rumah Aceh biasanya dapat bertahan selama 20 tahun. Sedangkan tiangnya terbuat dari batang kayu yang dapat bertahan selama dua generasi, dan lantainya dibuat dari papan dan kadang-kadang dari bamboo, rumah-rumah kuno umumnya tidak menggunakan peku tetapi menggunakan tali rtan untuk menyambung. Rumah adat ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur). seuramoë keuë (serambi depan) dan likôt (serambi belakang) dibuat terbuka sebagai tempat tidur putra dan putrid yang masih bujang, para tamu, dan tempat tidur selama diadakan upacara-upacara seperti perkawinan dan kematian. Sedangkan seuramoë teungoh (serambi tengah) terdapat kamar tidur yang biasa digunakan untuk tempat tidur ayah dan ibu.

b. Sistem Pertanian

Sistem pertanian di Aceh dapat dikatakan mirip dengan sistem pertanian di Jawa. Sawah-sawah dibentuk berpetak-petak dan satu petak dan lainnya dibatasi dengan ateung (pematang). Parit-parit (leueng) banyak terdapat untuk mengairi sawah dan untuk memasukkan air ke sawah-sawah, masih banyak digunakan batang Pinang atau batang Pisang sehingga pekerjaan disawah menghabiskan banyak waktu. Pengairan di sawah sangat tergantung pada turunnya hujan sehingga penanaman padi hanya dapat dilakukan sekali dalam setahun.

5. Makanan khas

Masakan Aceh pada umumnya didominasi dengan citarasa pedas. Untuk bumbunya, rempah-rempah termasuk jenis bumbu yang paling sering digunakan. Namun, di Gampoeng Aceh ini, nilai pedasnya cenderung lebih dikurangi, karena untuk menyesuaikan dengan selera pengunjungnya, sedangkan penggunaan rempah-rempah lebih ditingkatkan.

a. Bebek Bakar

200_bebek bakarBebeknya dibersihkan dengan cara khusus, sehingga dagingnya pun tidak berbau. Setelah dibakar bulu halusnya, bebek dibelah jadi 4. Sebelum dimasak, dibumbui dengan 19 macam rempah-rempah. Setelah itu, diberi daun kari, agar lebih harum, baru kemudian dipanggang. Penyajiannya dengan nasi gurih, cabe hijau, timun, dan tomat.

b. Kari Kambing

200_kari kambing

Daging kambing dimasak dengan bumbu utamanya adalah cabe keling atau cabe India. Cabe keling atau cabe India ini sebenarnya merupakan cabai merah yang sudah dikeringkan selama satu minggu, sehingga rasanya pun sangat pedas. Kuahnya yang sangat memerah, benar-benar sepedas citarasanya.

c. Martabak Aceh

200_martabak aceh

Bahan dasarnya adalah 1 kg terigu. Setelah diaduk, adonan terigunya dipukul-pukul, sehingga membentuk seperti martabak Bangka yang sudah sering kita jumpai, baru kemudian dimasak. Untuk menikmatinya, tersedia pilihan antara kari kambing atau kuah duren.

d. Mie Aceh

200_mie aceh

Mienya dibuat sendiri dari adonan terigu yang digiling. Bumbunya hampir sama dengan bumbu yang digunakan untuk membuat jenis mie goreng pada umumnya, hanya saja lebih ditambah rempah-rempah dan rasanya pun lebih spicy.

e. Mie Kepiting

200_mie kepiting

Kepiting digodok setengah matang dengan bumbu yang digunakan untuk mie aceh. Setelah itu. kepiting dibelah menjadi 8, dan dicuci. Digodok lagi, dan ditambahkan mie. Taste seafood dari kepitingnya sangat kuat.

6. Alat Musik

a. Arbhab

D:\Internet\alat-musik-tradisional-di-aceh_files\Arbab.jpgInstrumen ini terdiri dari 2 bagian yaitu Arbabnya sendiri (instrumen induknya) dan penggeseknya (stryk stock) dalam bahasa daerah disebut : Go Arab. Instrumen ini memakai bahan : tempurung kelapa, kulit kambing, kayu dan dawai


b. Serune Kalee (Serunai)

D:\Internet\alat-musik-tradisional-di-aceh_files\Seruneekalee.jpg
Serune Kalee merupakan isntrumen tradisional Aceh yang telah lama berkembang dan dihayati oleh masyarakat Aceh. Musik ini populer di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar dan Aceh Barat. Biasanya alat musik ini dimainkan bersamaan dengan Rapai dan Gendrang pada acara-acara hiburan, tarian, penyambutan tamu kehormatan. Bahan dasar Serune Kalee ini berupa kayu, kuningan dan tembaga. Bentuk menyerupai seruling bambu. Warna dasarnya hitam yang fungsi sebagai pemanis atau penghias musik tradisional Aceh.

c. Rapai

Rapai terbuat dari bahan dasar berupa kayu dan kulit binatang. Bentuknya seperti rebana dengan warna dasar hitam dan kuning muda. Sejenis instrumen musik pukul (percussi) yang berfungsi pengiring kesenian tradisional.

d. Geundrang (Gendang)

D:\Internet\alat-musik-tradisional-di-aceh_files\Gendrang.jpg

Geundrang merupakan unit instrumen dari perangkatan musik Serune Kalee. Geundrang termasuk jenis alat musik pukul dan memainkannya dengan memukul dengan tangan atau memakai kayu pemukul. Geundrang dijumpai di daerah Aceh Besar dan juga dijumpai di daerah pesisir Aceh seperti Pidie dan Aceh Utara. Fungsi Geundrang nerupakan alat pelengkap tempo dari musik tradisional etnik Aceh.

e. Tambo

D:\Internet\alat-musik-tradisional-di-aceh_files\Tambo.jpg
Sejenis tambur yang termasuk alat pukul. Tambo ini dibuat dari bahan Bak Iboh (batang iboh), kulit sapi dan rotan sebagai alat peregang kulit. Tambo ini dimasa lalu berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menentukan waktu shalat/sembahyang dan untuk mengumpulkan masyarakat ke Meunasah guna membicarakan masalah-masalah kampung.

f. Taktok Trieng

Taktok Trieng juga sejenis alat pukul yang terbuat dari bambu. Alat ini dijumpai di daerah kabupaten Pidie, Aceh Besar dan beberapa kabupaten lainnya. Taktok Trieng dikenal ada 2 jenis: Yang dipergunakan di Meunasah (langgar-langgar), dibalai-balai pertemuan dan ditempat-tempat lain yang dipandang wajar untuk diletakkan alat ini.
jenis yang dipergunakan disawah-sawah berfungsi untuk mengusir burung ataupun serangga lain yang mengancam tanaman padi. Jenis ini biasanya diletakkan ditengah sawah dan dihubungkan dengan tali sampai ke dangau (gubuk tempat menunggu padi di sawah).

g. Bereguh

D:\Internet\alat-musik-tradisional-di-aceh_files\Bereguh.jpg

Bereguh nama sejenis alat tiup terbuat dari tanduk kerbau. Bereguh mempunyai nada yang terbatas, banyakanya nada yang yang dapat dihasilkan Bereguh tergantung dari teknik meniupnya. Fungsi dari Bereguh hanya sebagai alat komunikasi terutama apabila berada dihutan/berjauhan tempat antara seorang dengan orang lainnya.

h. Canang


Perkataan Canang dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Dari beberapa alat kesenian tradisional Aceh, Canang secara sepintas lalu ditafsirkan sebagai alat musik yang dipukul, terbuat dari kuningan menyerupai gong. Fungsi Canang secara umum sebagai penggiring tarian-tarian tradisional serta Canang juga sebagai hiburan bagi anak-anak gadis yang sedang berkumpul. Biasanya dimainkan setelah menyelesaikan pekerjaan di sawah ataupun pengisi waktu senggang.

i. Celempong


Celempong adalah alat kesenian tradisional yang terdapat di daerah Kabupaten Tamiang. Alat ini terdiri dari beberapa potongan kayu dan cara -gadis, tapi sekarang hanya orang tua (wanita) saja yang dapat memainkannya disusun diantara kedua kaki pemainnya.

Celempong dimainkan oleh kaum wanita terutama gadis memainkannnya dengan sempurna. Celempong juga digunakan sebagai iringan tari Inai. Diperkirakan Celempong ini telah berusia lebih dari 100 tahun berada di daerah Tamiang.

7. Pakaian Adat dan Perhiasan Pengantin

E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Pakaian Adat Aceh\baju_adat.jpga. Pakaian Adat dan Perhiasan Pengantin

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwCFhrpFieJ0H5fofAhUXzicQ6CbjfEcUKPRxQ63Ru6Y-sq5OU54SFNvcm0_Nl64yeV0Fei2Y4_qswwQZRU71YvjKzmo76xA9zfdH7BXby1ttaUMI64_oz9226wcBo1soAjVDdWyxk3kSF/s1600-h/Calempong.jpg

Pengantin laki-laki (Linto baro) maupun pengantin perempuan (Dara Baro), keduanya sama-sama menggunakan baju, celana panjang dan sarung songket. Bahan dasar pakaian pengantin ini dahulu ditenun dengan benang sutera. Pada masa sekarang bahan pakaian banyak yang terbuat dari kain katun, nilon, planel dan sebagainya. Bagi pengantin laki-laki baju dan celana berwarna hitam, sedangkan pengantin perempuan baju berwarna merah atau kuning dengan celana panjang hitam.

Belakangan ini terdapat suatu kecenderungan untuk menerapkan benang emas pada bagian ujung lengan baju laki-laki, juga pada kerah, kantong dan pada bagian ujung kaki celana. Demikian juga dengan pakaian pengantin perempuan. Padahal, dulunya pakaian pengantin laki-laki dan perempuan pada dasarnya tidak diberi sulaman atau ragam hias. Alasannya adalah karena ragam hias telah dipenuhi dengan aksesoris yang berbentuk aneka ragam perhiasan yang terdiri dari berbagai bahan yang membuat suasana kemilau dan gemerlap.

b. Sejarah Singkat Perhiasan

Perhiasan dikenal oleh semua bangsa di dunia. Orang memakai perhiasan dengan tujuan yang bermacam-macam, antara lain untuk memenuhi kelengkapan pakaian upacara keagamaan dan adat sebagai simbol status didalam masyarakat ataupun hanya agar kelihatan lebih cantik, anggun, berwibawa, dan bahkan juga memberikan kekuatan magis. Sejak zaman prasejarah, bangsa-bangsa di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia sudah mengenal perhiasan.

Berbagai bahan dan jenis perhiasan telah dibuat sejalan dengan kemajuan teknologi. Perhiasan yang mendapat pengaruh India, antara lain bersifat religius, misalnya tali kasta (untuk menyembuhkan penyakit atau sebagai jimat) dan menunjukkan lambang status di dalam masyarakat, seperti mahkota, kalung, cincin, rantai yang digunakan oleh raja atau bangsawan. Demikian juga pemakaian perhiasan pada masa Islam yang menunjukkan lambang status.

Kedatangan bangsa Barat turut mempengaruhi pola ragam bias dan bentuk perhiasan. Perhiasan di Eropa pun menunjukkan simbol dan status, serta mengekspresikan rasa cinta dan mempercantik diri. Salah satu bukti bahwa ada pengaruh budaya Barat di Indonesia, adalah perhiasan kalung dengan ragam bias berupa gambar singa, burung merpati dan bunga. Ragam bias gambar singa, burung dan bunga banyak digunakan di Eropa.

Budaya Aceh termasuk seni kerajinan perhiasannya sangat dipengaruhi oleh peradaban Islam. Motif, ornamen dan desain perhiasan tradisional Aceh merupakan terjemahan dari peradaban Islam. Pada umumnya ornamen diciptakan dari abstraksi tumbuh-tumbuhan dengan daun, tangkai, bunga dan buahnya.

Perhiasan tradisional Aceh juga mengenal ornamen yang merupakan abstraksi benda-benda alamiah seperti awan, bulan, bintang dan lain-lain. Bentuk geometris, seperti Bieng meuih, reunek leuek, gigoe daruet, boh eungkot dan sebagainya. Dengan bentuk ornamen yang alamiah dan abstrak tersebut menghasilkan motif-motif yang menarik. Pakaian adat Aceh dilengkapi dengan beberapa macam pernik yang biasa selalu dikenakan pada acara-acara tertentu. Pernik-pernik tersebut antara lain:

1. Keureusang

E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Pakaian Adat Aceh\Keureusang.jpgKeureusang (Kerosang/Kerongsang/Bros) adalah perhiasan yang memiliki ukuran panjang 10 Cm dan lebar 7,5 Cm. Perhiasan dada yang disematkan di baju wanita (sejenis bros) yang terbuat dari emas bertatahkan intan dan berlian. Bentuk keseluruhannya seperti hati yang dihiasi dengan permata intan dan berlian sejumlah 102 butir. Keureusang ini digunakan sebagai penyemat baju (seperti peneti) dibagian dada. Perhiasan ini merupakan barang mewah dan yang memakainya adalah orang-orang tertentu saja sebagai perhiasan pakaian harian.

2. Patam Dhoe

E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Pakaian Adat Aceh\Patam Dhoe.jpgPatam Dhoe adalah salah satu perhiasan dahi wanita Aceh. Biasanya dibuat dari emas ataupun dari perak yang disepuh emas. Bentuknya seperti mahkota.
Patam Dhoeterbuat dari perak sepuh emas. Terbagi atas tiga bagian yang satu sama lainnya dihubungkan dengan engsel. Di bagian tengah terdapat ukuran kaligrafi dengan tulisan-tulisan Allah dan di tengahnya terdapat tulisan Muhammad-motif ini disebut Bungong Kalimah-yang dilingkari ukiran bermotif bulatan-bulatan kecil dan bunga.

3. Peuniti

Seuntai Peuniti yang terbuat dari emas; terdiri dari tiga buah hiasan motif Pinto Aceh. Motif Pinto Aceh dibuat dengan ukiran piligran yang dijalin dengan motif bentuk pucuk pakis dan bunga. Pada bagian tengah terdapat motif boheungkot (bulatan-bulatan kecil seperti ikan telur). Motif Pinto Aceh ini diilhami dari bentuk pintu Rumah Aceh yang sekarang dikenal sebagai motif ukiran khas Aceh. Peuniti ini dipakai sebagai perhiasan wanita, sekaligus sebagai penyemat baju.

4. Simplah

E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Pakaian Adat Aceh\Simplah.jpgSimplah merupakan suatu perhiasan dada untuk wanita. Terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari 24 buah lempengan segi enam dan dua buah lempengan segi delapan. Setiap lempengan dihiasi dengan ukiran motif bunga dan daun serta permata merah di bagian tengah. Lempengan-lempengan tersebut dihubungkan dengan dua untai rantaiSimplah mempunayi ukuran Panjang sebesar 51 Cm dan Lebar sebesar 51 Cm.

5. Subang Aceh

E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Pakaian Adat Aceh\Subang Aceh.jpgSubang Aceh memiliki Diameter dengan ukuran 6 Cm. Sepasang Subang yang terbuat dari emas dan permata. Bentuknya seperti bunga matahari dengan ujung kelopaknya yang runcing-runcing. Bagian atas berupa lempengan yang berbentuk bunga Matahari disebut "Sigeudo Subang". Subang ini disebut juga subang bungong mata uro.

6. Taloe Jeuem

E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Pakaian Adat Aceh\Taloe Jeuem.jpgSeuntai tali jam yang terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari rangkaian cincin-cincin kecil berbentuk rantai dengan hiasan be4ntuk ikan (dua buah) dan satu kunci. Pada ke dua ujung rantai terdapat kait berbentuk angka delapan. Tali jam ini merupakan pelengkap pakaian adat laki-laki yang disangkutkan di baju.

Selain itu, kita menjumpai satu ornamen yang merupakan motif khas Aceh yang terkenal dengan nama "bungong kalimah" yang sering dimunculkan dalam bentuk tulisan "Allah", "Muhammad" dan ayat-ayat lainnya dari Al-Quran.

IV. Sistem Kemasyakarakatan

A. Sistem Garis Keturunan

Dalam sistem kekerabatan, bentuk kekerabatan yang terpenting adalah keluarga inti dengan prinsip keturunan bilateral. Adat menetap sesudah menikah bersifat matrilokal, yaitu tinggal di rumah orangtua istri selama beberapa waktu. Sedangkan anak merupakan tanggung jawab ayah sepenuhnya.

Pada orang Alas garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal atau menurut garis keturunan laki-laki. Sistem perkawinan yang berlaku adalah eksogami merge, yaitu mencari jodoh dari luar merge sendiri. Adat menetap sesudah menikah yang berlaku bersifat virilokal, yang terpusat di kediaman keluarga pihak laki-laki. Gabungan dari beberapa keluarga luas disebut tumpuk. Kemudian beberapa tumpuk bergabung membentuk suatu federasi adat yang disebut belah (paroh masyarakat).

Dalam sistem kekerabatan tampaknya terdapat kombinasi antara budaya Minangkabau dan Aceh. Garis keturunan diperhitungkan berdasarkan prinsip bilateral, sedangkan adat menetap sesudah nikah adalah uxorilikal (tinggal dalam lingkungan keluarga pihak wanita). Kerabat pihak ayah mempunyai kedudukan yang kuat dalam hal pewarisan dan perwalian, sedangkan ninik mamak berasal dari kerabat pihak ibu. Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang disebut rumah tanggo. Ayah berperan sebagai kepala keluarga yang mempunyai kewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya. Tanggung jawab seorang ibu yang utama adalah mengasuh anak dan mengatur rumah tangga.

Pada masyarakat gayo, garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matriokal (angkap). Kelompok kekerabatan terkecil disebut saraine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klen).

Dalam sistem kekerabatan masyarakat Tamiang digunakan prinsip patrilineal, yaitu menarik garis keturunan berdasarkan garislaki-laki. Adat menetap sesudah nikah yang umum dilakukan adalah adat matrilokal, yaitu bertempat tinggal di lingkungan kerabat wanita.

B. Pola Kehidupan Masyarakat Aceh

Pola kehidupan masyarakat Aceh diatur oleh hukum adat yang berdasarkan kaidah kaidah hukum agama Islam. Adapun susunan masyarakat adalah sebagai berikut:

1. Golongan Rakyat Biasa; yang dalam istilah Aceh disebut Ureung Le (orang banyak). Disebut demikian karena golongan ini merupakan golongan yang paling banyak (mayoritas) dalam masyarakat adat Aceh.

2. Golongan Hartawan; yaitu golongan yang bekerja keras dalam mengembangkan ekonomi pribadi. Dari pribadi-pribadi yang sudah berada itulah terbentuknya suatu golongan masyarakat. Karena keberadaannya sehingga mereka menjelma menjadi golongan hartawan. Golongan ini cukup berperan dalam soal-soal kemasyarakatan khususnya sebagai penyumbang-penyumbang dana.

3. Golongan ulama/cendikiawan; umumnya mereka berasal dari kalangan rakyat biasa yang memiliki ilmu pengetahuan yang menonjol. Sehingga mereka disebut orang alim dengan gelar Teungku. Mereka cukup berperan dalam masalah-masalah agama dan kemasyarakatan.

4. Golongan kaum bangsawan; termasuk didalamnya keturunan Sultan Aceh yang bergelar "Tuanku" keturunan "Uleebalang" yang bergelar "Teuku" (bagi laki-laki) dan "Cut" (bagi perempuan).

C. Struktur Masyarakat

Berdasarkan pendekatan historis, lapisan masyarakat Aceh yang paling menonjol dapat dikelompokkan pada dua golongan, yaitu golongan Umara dan golongan Ulama. Umara dapat diartikan sebagai pemerintah atau pejabat pelaksana pemerintah dalam satu unit wilayah kekuasaan.

Contohnya seperti jabatan Sultan yang merupakan pimpinan atau pejabat tertinggi dalam unit pemerintahan kerajaan, Uleebalang sebagai pimpinan unit Pemerintah Nanggroe (negeri), Panglima Sagoe (Panglima Sagi) yang memimpin unit pemerintahan Sagi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unit pemerintahan Mukim dan Keuchiek atau Geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan Gampong (kampung). Kesemua mereka atau pejabat tersebut di atas, dalam struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagai lapisan pemimpin adat, pemimpin keduniawian, atau kelompok elite sekuler.

Sementara golongan Ulama yang menjadi pimpinan yang mengurusi masalah-masalah keagamaan (hokum atau syariat Islam) dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite religius, Oleh karena para ulama ini mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah seorang yang berilmu, yang dalam istilah Aceh disebut Ureung Nyang Malem. Dengan demikian tentunya sesuai dengan predikat/sebutan ulama itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok Ulama ini dapat disebutkan, yaitu :

1. Tengku Meunasah, yang memimpin masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan pada satu unit pemerintah Gampong (kampung).

2. Imum Mukim (Imam Mukim), yaitu yang mengurusi maslah keagamaan pada tingkat pemerintahan mukim, yang bertindak sebagai imam sembahyang pada setiap hari Jumat di sebuah mesjid pada wilayah mukim yang bersangkutan.

3. Qadli (kadli), yaitu orang yang memimpin pengadilan agama atau yang dipandang menerti mengenai hokum agama pada tingkat kerjaan dan juga pada tingkat Nanggroe yang disebut Kadli Uleebalang. Teungku-teungku, yaitu pengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti dayah dan rangkang, juga termasuk murid-muridnya. Bagi mereka yang sudah cukup tinggi tingkat keilmuannya, disebut dengan istilah Teungku Chiek.

D. Upacara Adat Perkawinan (Woe Linto)

Tiga hari sebelum naik Pengantin (Woe Linto) terlebih dahulu oleh pihak pengantin laki (Linto) diantar kepada pihak pengantin perempuan (Dara Baro) sirih inai (Ranub Gaca), Ranub lipat/Ranub Gapu 1 hidang, 1 hidang alat-lat pakaian Dara Baro, 1 Hidang Breueh Pade, 1 hidang telur rebus yang diberi berwarna, setawar sedingin, dan daun inai (Gaca) untuk inai Dara Baro. Di rumah Dara Baro diadakan acara Koh Andam.

1. Mampleue (Mempelai) Woe Linto

Pada upacara mempelai Linto diberi berpakaian Adat dan dihantar ke rumah Dara Baro beramai-ramai, dengan didahului oleh orang tua yang bijak, dan Linto diapit oleh anak-anak muda yang sebaya. Bawaan dari pihak Linto ialah Jeunamee (mahar atau mas kawin) seumpama1 bongkol mas, diisi dalam cerana beserta Jinong Kunyet dab Beras Padi. Cerana dibungkus dengan kain Sutra Kuning yang pada ujung kain diletakkan bohru dari emas, ranub rajeu’ atau ranub peurakan, kue-kue (peunajoh) wajeb, meuseukat, dhoi-dhoi, bhoi, penajoh tho keukarah, bungong kayee dan lain-lain. Di halaman rumah Dara Baro rombongan Linto dijemput (dinantikan) oleh orang tua dari pihak Linto diberi salam dengan kata-kata bersanjak yang disambut pula dengan kata-kata halus bersanjak oleh pihak Dara Baro.

Setelah itu Linto dibawa naik ke rumah, yang sewaktu tiba ditangga Linto disetawar-sedingin, dengan siraman air Mawar dan Beras Padi. Setiba diatas rumah Linto bersama rombongan ditempatkan di serambi, didudukkan di atas Pelaminan kecil, dimana diadakan jamuan makan, dan pernikahan Ijab Kabul. Ada juga pernikahan Ijab Kabul ini didahulukan harinya sebelum Upacara mempelai. Selain itu barulah Linto dijemput (dibawa) ke pelaminan besar untuk disandingkan dengan Dara Baro. Biasanya setelah bersanding, Linto bersama rombongan pulang kembali ke rumah orang tuanya.

2. Upacara Sesudah Mampleue

Upacara Petujoh, yaitu Linto pulang ke rumah Daro Baro dengan rombongan kira-kira 25 orang. Di halaman rumah Daro Baro diadakan Upacara penanaman Kelapa yang dilakukam oleh Linto bersama Dara Baro. Pada Upacara Peutujoh oleh ibu Dara Baro diadakan teumeutuek (pemberian) uang kepada Linto disertai sepersalinan pakaian. Pemberian dari pihak orang tua Dara Baro, oleh Linto dibawa pulang untuk diperhatikan kepada ibu Linto. Selanjutnya boleh ibu Linto membawa nget tujoh dan peukayan tujoh kepada Dara Baro.

3. Tueng Dara Baro

Kira-kira hari ke-10 sampai 1 bulan, Dara Baro dijemput oleh ibu Linto dengan ranub Batee dan Gateng, Dara Baro dibawa ketempat Linto. Sesampainya di rumah Linto diadakan upacara, yaitu Peusijeuk Dara Baro dan Teumeutuek kepada Dara Baro yang dilakukan oleh ibu dan kerabat Linto. Tangan Linto dan Dara Baro dimasukkan ke dalam empang beras dan empang garam, sebagai ganti memberi tahu bahwa ini adalah rumahnya sendiri dan tahu dimana beras dan garam untuk perjanjian di masa-masa mendatang. Bawaan dari Dara Baro sewaktu pergi kerumah Linto adalah kue-kue Adat 3 hidang yang terdiri dari wajeb, dodoi, meusekat dan kue-kue kering lainnya serta ranub bate, kue-kue bawaan Daro Baro tersebut, oleh ibu Linto dibagi-bagikan kepada kerabat dan tetangga. Selanjutnya oleh orang tua pihak Linto dihadiahkan kepada Dara Baro sesuatu benda menurut kemampuan dan lazim yaitu hewan betina. Demikianlah sekitar Adat Aceh, yang dapat kami paparkan menurut pengetahuan kami dan yang dapat kami tanyakan dari orang-orang tua, dengan pengharapan supaya dikoreksi kembali.

V. Sistem Pengetahuan.

Dayah (bahasa Aceh) adalah nama lembaga yang dikenal dengan sebutan pesantren di Jawa atau surau di Padang atau pondok di Thailand. Kata dayah ini berasal dari bahasa Arab “zawiyah”.Istilah zawiyah, secara literal bermakna sudut, yang diyakini oleh masyarakat Aceh pertama sekali digunakan sudut mesjid Medinah ketika Nabi memberi pelajaran kepada para shahabat di awal Islam. Orang-orang ini, sahabat Nabi kemudian menyebarkan Islam ketempat-tempat lain. Pada abad pertengahan, kata zawiyah dipahami sebagai pusat agama dan kehidupan sufi yang kebiasaannya menghabiskan waktu di perantauan. Kadang-kadang lembaga ini dibangun menjadi sekolah agama dan pada waktu-waktu tertentu juga zawiyah dijadikan sebagai pondok bagi pencari kehidupan spiritual.Dari ilustrasi ini dapat dipahami nama ini juga kemudian sampai ke Aceh.

Sejak Islam menapak di Aceh (800 M.) sampai tahun 1903 tidak ada lain lembaga pendidikan di Aceh kecuali dayah. Dayahlah yang telah mendidik rakyat Aceh pada masa lalu sehingga mereka ada yang mampu menjadi raja, menteri, panglima militer, ulama, ahli teknologi perkapalan, pertanian, kedokteran dll. Kerana peran-peran ulama di masa dahulu, baik mengajar maupun menulis sejumlah kitab yang telah mempengaruhi pemikiran Islam di Asia Tenggara inilah yang telah mengharumkan nama Aceh pada masa lalu sampai diberi julukan Aceh sebagai Serambi Makkah.

Sistem pembelajaran melalui dayah ini dapat dikatakan cukup baik. Dayah-dayah di Aceh banyak menghasilkan pendebat ulung dan tangguh. Santri mengisi waktu di sela-sela ibadah dan zikirnya dengan banyak membaca, termasuk koran dan majalah, dan mendebatkan apa yang dibaca sesama mereka dan dengan para ‘pendidik’nya. Seorang santri seringkali “jak meu-dagang” alias mondok ke dayah lainnya jika dia tidak punya lagi teman debat yang sepadan di dayah asalnya. Sebuah proses alami untuk menuju jenjang dayah yang lebih tinggi.

VI. Sistem Religi

Aceh sebagaimana kita tahu adalah daerah yang mendapat julukan “Serambi Mekah” dikarenakan Aceh adalah daerah di nusantara yang paling awal menerima agama Islam. Masuknya agama Islam di Aceh karena pada tahun 30 Hijriyah atau 651 masehi, Khalifah Usman bin Affan mengirim delegasi ke Cina. Delegasi tersebut bertugas memperkenalkan agama Islam. Waktu itu hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW. dalam perjalanan laut yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan usman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 Masehi, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat sumatra.

Sejak saat itu, para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah. lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk agama islam, meskipun belum secara besar-besaran. Menurut sejarah kerajaan Islam yang pertama berdiri di Aceh adalah kesultanan Perlak (Memang ada perbedaan pendapat, di versi lain menyebutkan kerajaan Islam yang pertama adalah Samudra Pasai).

Namun, Islam berkembang sangat pesat di Aceh ketika Aceh disatukan oleh kesultanan Aceh Darussalam (Kesultanan Aceh Darussalam membawahkan enam kerajaan kecil; kerajaan Perlak, Kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Tamiang, Kerajaan Pidie, Kerajaan Indrapura, dan Kerajaan indrajaya), yakni pada masa kepemimpinan Ri’ayat Syah al-Qahhar. Pada masa pemerintahan sultan Alauddin al-Qahhar, kesultanan Aceh menyerang Malaka sebanyak dua kali, yaitu pada tahuhn 1547 dan 1568. menurut Musafir portugis, Mendez Pinto, pasukan aceh kala itu memiliki tentara dari berbagai negara, diantaranya dari Turki, Cambay dan malabar. Hal itu menunjukkan bahwa hubungan diplomatik yang baik telah dijalankan oleh sultan Alauddin al-Qahhar. Bukti lain tentang hubungan diplomatik yang baik telah dijalankan oleh sultan Alauddin al-Qahhar. Bukti lain tentang hubungan diplomatik tersebut adalah kabar bahwa Sultan juga mengirim utusan diplomatik ke luar negeri. Misalnya pada tahun 1562 utusan dikirim ke istambul untuk membeli meriam dari sultan Turki. Sultan Alauddin al-Qahhar pun mendatangkan ulama-ulama dari India dan Persia untuk menyebarkan risalah Islam, membawa para ulama ke pedalaman Sumatra, mendirikan pusat Islam di ulakan, serta membawa Islam ke Minangkabau dan Indrapura, sultan al-Qahhar meninggal dunia pada tanggal 28 September 1571.

Di Aceh, agama (baca: Islam) menjadi sendi pokok dalam kehidupan sehari-hari. Hampir semua lapisan masyarakat selalu melandaskan pada agama Islam. Sehingga, kekuataan agama menjadi salah satu pendorong dalam perjuangan bangsa Aceh. Melalui agama, Aceh juga bisa berkembang. Lewat agama juga, ilmu pengetahuan bisa mencapai kemajuan yang sangat berarti. Demikian, juga agama menjadi hukum bagi masyarakat Aceh. Undang-undang Kerajaan Aceh hampir semuanya berdasarkan pada agama. Untuk mengambarkan data sejarah yang nyata tentang peran agama di Aceh, dalam manuskrip kitab Tazkirah Thâbaqat Jumû‘ Sultân As-Salâtîn disebutkan bahwa:


“Syahdan: maka ketahui oleh hai talib bahwa pada negeri Islam dalam seluruh dunia ini dari dahulu sampai sekarang hingga akan datang tiap-tiap kerajaan Islam hendaklah memegang tiga perkara. Pertama qanun syara‘ Allah, kedua qanun syara‘ Rasul Allah, ketiga qanun syara‘ kerajaan maka tiga macam seperti yang tersebut maka hendaklah memegang oleh sulthan-sulthan dengan teguh supaya negeri aman dan rakyat senang hidup dengan makmur. Wajib itu dua macam, yang pertama wajib fardhuain yang kedua wajib fardhu kifayah”.

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa agama merupakan tiang pokok masyarakat Aceh. Karena itu, dengan semangat agama, semua persoalan di Aceh dapat diselesaikan. Dalam melawan penjajah, rakyat Aceh selalu melibatkan “agama di depan”. Tujuan yang hendak dicapai oleh agama adalah syahid. Dan jika sudah syahid maka syurga adalah impian terakhir. Akibatnya, para syuhada di Aceh sangat banyak sekali. Ringkasnya, dengan ideologi jihad, kedatangan penjajah Belanda, menurut Azyumardi Azra, menjadi semacam “ rahmat terselubung”, bagi kelompok-kelompok etnis Muslim di kawasan ini.

Walaupn orang Aceh hampir semuanya beragama Islam, tetapi gereja terdapat juga di aceh. Gereja-gereja ini umumnya didirikan oleh Belanda dan sedikit adanya gereja-gereja baru. Catatan resmi tentang jumlah gereja di Aceh tidak ada, kecuali catatan tahun 1954, yang menyatakan bahwa jumlah gereja di Aceh seluruhnya 36 buah. Jumlah gereja sebanyak itu tentu menunjukkan adanya orang yang beragama Kristen di Aceh, tetapi itu biasanya orang Indonesia dari sukubangsa lain yang tinggal di Aceh sebagai pegawai, militer, pedagang, atau yang lainnya. Umumnya gereja-gereja ini terletak di daerah perbatasan dengan daerah karo (Sumatra Utara), yaitu Kutacane.

VIII. Sistem Ekonomi

Dalam sekor perekonomian masyarakat Aceh, mata pencaharian penduduk adalah bertani di sawah dan ladang, dengan tanaman pokok berupa padi, cengkeh, lada, pala, kelapa, dan lain-lain. Masyarakat yang bermukim_ di sepanjang pantai pada umumnya menjadi nelayan.

Sebagian besar orang Alas hidup dari pertanian di sawah atau ladang, terutama yang bermukim di kampung (kute). Tanam Alas merupakan lumbung padi di Daerah Istimewa Aceh. Di samping itu penduduk beternak kuda, kerbau, sapi, dan kambing, untuk dijual atau dipekerjakan di sawah.

Mata pencaharian utama orang Aneuk Jamee adalah bersawah, berkebun, dan berladang, serta mencari ikan bagi penduduk yang tinggal di daerah pantai. Di samping itu ada yang melakukan kegiatan berdagang secara tetap (baniago), salah satunya dengan cara menjajakan barang dagangan dari kampung ke kampung (penggaleh). Matapencaharian pada masyarakat Gayo yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman kopi. Matapencaharian utama orang Tamiang adalah bercocok tanam padi di sawah atau di ladang. Penduduk yang berdiam di daerah pantai menangkap ikan dan membuat aran dari pohon bakau. Adapula yang menjadi buruh perkebunan atau pedagang. Pada saat ini, sector mata pencaharian masyarakat aceh terus mengalami perkembangan. Perekonomian Aceh sangat bergantung pada sektor pertambangan1 (termasuk minyak dan gas), yang menyumbangkan 23 persen PDB pada tahun 2005 dan industri manufaktur, yang menyumbangkan 22 persen dari PDB sangat dipengaruhi oleh ketersedian gas dengan harga yang relatif murah.

Pada sekor perdagangan, ekspor cukup berpengauh pada perkonomian di Aceh. Ekspor Aceh sangat bergantung pada gas alam (Liquid Natural Gas–LNG) sedangkan ekspor non-migas didominasi oleh industri-industri yang bergantung pada ketersediaan gas dengan harga murah.

Selain sektor-sektor perekonomian di atas, sektor perikanan juga cukup mendominasi kegiatan perekonomian penduduk. Sebelum bencana tsunami 26 Desember 2004, perikanan merupakan salah satu pilar ekonomi lokal di Nanggroe Aceh Darussalam, menyumbangkan 6,5 persen dari Pendapatan Daerah Bruto (PDB) senilai 1,59 triliun pada tahun 2004. Potensi produksi perikanan tangkap mencapai 120.209 ton/tahun sementara perikanan budidaya mencapai 15.454 ton/tahun pada tahun 2003. Produksi perikanan tersebut merata, baik di Samudera Hindia maupun Selat Malaka. Namun, setelah terjadinya bencana tsunami, diperkirakan produksi perikanan di Aceh akan anjlok hingga 60 persen. Proses pemulihan diperkirakan membutuhkan waktu paling sedikit 5 tahun. Di subsektor perikanan tangkap, bahkan diduga perlu waktu lebih lama (sekitar 10 tahun), karena banyaknya nelayan yang hilang atau meninggal selain rusaknya sejumlah besar perahu atau alat tangkap.

IX. Tempat-Tempat Wisata

A. Mesjid Raya Baiturahman

baiturahman.jpgMesjid Raya Baiturahman yang terletak di pusat kota Banda Aceh yakni di Pasar Aceh merupakan mesjid kebanggan masyarakat Aceh.

Sejarah mencatat pada jaman dulu ditempat ini berdiri sebuah Mesjid Kerajaan Aceh. Sewaktu Belanda menyerang kota Banda Aceh pada tahun 1873 Mesjid ini dibakar, namun untuk meredam kemarahan rakyat Aceh pada tahun 1875 Belanda membangun kembali sebuah Mesjid sebagai penggantinya yang berdiri megah saat ini. Mesjid ini berkubah tunggal dan dibangun pada tanggal 27 Desember 1883. Selanjutnya Mesjid ini diperluas menjadi 3 kubah pada tahun 1935. Terakhir diperluas lagi menjadi 5 kubah (1959 – 1968).

B. Pantai Lampuuk

lampuuk_after_tsunami.jpg

Pantai Lampuuk terletak di pantai barat Aceh. Dari Banda Aceh kurang lebih 17 km. Namun sayangnya pantai yang cukup terkenal dan menjadi tempat wisata favorit penduduk Aceh tersebut musnah tersapu Tsunami.

C. Taman Wisata Alam Laut Pulau Weh

taman-wisata-alam-laut-pulau-weh-sabang.jpg

Secara geografis TWA Laut Pulau Weh terletak pada 0552’ Lintang Utara dan 9552’ Bujur Timur. Sedangkan secara administrasi pemerintahan termasuk Kecamatan Sukakarya, Kotamadya Sabang, Propinsi D.I. Aceh dan dari segi pengelolaan hutannya termasuk Resort Konservasi Sumber Daya Alam Iboih dan masuk pada Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Propinsi NAD.

Di TWA Laut Pulau Weh, Sabang terdapat terumbu karang, baik karang yang keras maupun karang yang lunak dengan berbagai jenis, bentuk dan warna, yang kesemuanya membentuk gugusan karang yang menarik untuk dinikmati, antara lain karang dengan nama daerahnya karang lupas, karang rusa, karang kerupuk.

Selain terumbu karang, TWA Laut Pulau Weh, Sabang dapat ditemui jenis-jenis ikan karang seperti Angel fish, Tropet fish, Dunsel fish, Sergeon fish, Grope fish, Parrot fish dan lain-lain. Ikan-ikan ini berada di sekitar TWA Laut Pulau Weh dan sebagian merupakan endemik di daerah ini. Selain itu juga banyak ditemukan jenis-jenis ikan ekonomis seperti Tuna, Kakap, Kerapu, Bayan, Pisang-pisangan dan lain-lain.

Kegiatan wisata alam yang dapat dilakukan di TWA Laut Pulau Weh adalah kegiatan wisata tirta seperti berselancar, naik sampan, berenang, memancing, serta menyelam untuk menikmati alam bawah air dengan keanekaragaman terumbu karang serta ikan-ikan karangnya yang indah.

D. Krueng Raya

krueng_raya1.jpgKrueng Raya berjarak 35 Km dari Banda Aceh merupakan sebuah nama wilayah. Di daerah tersebut terdapat pelabuhan yang bernama “Pelabuhan Malahayati” yang sering dipergunakan masyarakat Banda Aceh untuk menyebrang ke pulau Weh (Sabang). Pelabuhan tersebut akhirnya dinon aktifkan setelah pelabuhan Ulee Lhe yang lebih megah dibangun (namun sama saja hancur karena Tsunami). Krueng Raya yang termasuk daerah dengan kerusakan terparah akibat Tsunami dapat ditempuh dalam waktu 30 menit dari Banda Aceh.

Di daerah ini juga sangat terkenal dengan pantainya yang bernama Ujong Batee. Pantai Ujong Batee sendiri terletak sekitar 17 km arah timur Banda Aceh.. Ujong Batee dalam bahasa Aceh berarti Ujung Batu, mungkin nama ini diberikan karena dari pantai inilah kita dapat langsung melihat pulau seberang Sabang Selain Ujong Batee, di Krueng Raya juga terdapat daerah wisata bernama Lamreh, daerah ini merupakan daerah bukit yang dulunya tandus, namun kini telah ditanami berbagai pohon. Dari sini kita dapat menyaksikan panorama laut yang indah seperti terlihat pada gambar dihalaman ini.

E. Gunongan

gunong.jpg

Gunongan merupakan sebuah bangunan peninggalan Sultan Iskandar Muda (1608-1636) untuk permaisurinya Putri Phang.Menurut sejarah, Putri Phang selalu merasa rindu akan kampung halamannya, Pahang – Malaysia. Sultan kemudian mengetahui bahwa kegusaran permaisurinya itu karena di Pahang Istananya dikelilingi oleh perbukitan dimana permaisuri dapat bermain, namun disini tidak.

Lalu Sultan membangun sebuah gunung buatan yaitu Gunongan dimana permaisuri dapat memanjatinya. Begitu bangunan ini siap, permaisuri menjadi berbahagia dan lebih banyak menghabiskan waktunya disini terutama pada saat matahari akan tenggelam. Gunongan terletak dalam sebuah komplek di Jl Teuku Umar Banda Aceh, dimana daerah tersebut luput dari keganasan Tsunami.

F. Kerkhoff

E:\ThiNK sMaRT\BUDAYA NUSANTARA\ATJEH\Keb. Aceh\Objek wisata\kerkop1.jpgSebagaimana diketahui bahwa Kerajaan Aceh dan rakyatnya sangat gigih melawan Belanda yang memerangi Aceh. Rakyat Aceh mempertahankan Negerinya dengan harta dan nyawa. Perlawanan yang cukup lama mengakibatkan banyak korban dikedua belah pihak. Bukti sejarah ini dapat ditemukan dipekuburan Belanda (Kerkhoff) ini. Disini dikuburkan kurang lebih 2000 orang serdadu Belanda yang kuburannya masih dirawat dengan baik.

Sebaliknya tidak terhitung banyaknya rakyat Aceh yang meninggal dalam mempertahankan setiap jengkal tanah airnya yang tidak diketahui dimana kuburnya.

G. Museum Tsunami

Museum Tsunami Aceh adalah sebuah Museum untuk mengenang kembali pristiwa tsunami yang maha daysat yang menimpa Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2008 yang menelan korban lebih kurang 240,000 orang. Lokasi Museum Tsunami Aceh terletak diIbukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yaitu Kotamadya Banda Aceh di Jalan Sultan Iskandarmuda dekat simpang jam, di seberang lapangan Blang Padang.persisnya di bekas kantor Dinas Peternakan Aceh sebelah pemakaman kuburan belanda (Kerkhoff).